Desa Trunyan, Desa Kedisan, dan Desa Abang Dukuh merupakan desa yang
terletak di Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Keberadaan nama ketiga desa
tersebut terkait dengan pengembaraan empat orang putra Raja Surakarta ke Bali untuk mencari bau harum yang menyengat. Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Desa Trunyan, Kedisan, dan Abang
Dukuh.
* * *
Alkisah, Raja
Solo yang bertahta di Keraton Surakarta mempunyai empat orang anak, tiga anak
laki-laki dan seorang anak perempuan yang paling bungsu. Suatu hari, tiba-tiba
mereka mencium bau harum yang sangat menyengat.
“Hai, bau harum
apa itu?” tanya Pangeran Sulung, “Apakah kalian menciumnya juga?
“Iya, Kanda.
Bau harum itu amat menyengat,” jawab ketiga adiknya serentak.
Keempat
bersaudara itu pun mencari sumber bau harum yang menyengat tersebut.
“Sepertinya bau
harum itu berasal dari arah timur, Kanda,” ujar si Putri Bungsu.
“Iya, kamu
benar, Adikku,” Kakak sulungnya mengiyakan.
Keempat
bersaudara itu amat penasaran dan tertarik pada bau harum itu. Akhirnya, mereka
pun bersepakat untuk mencari sumbernya. Setelah menyiapkan segala keperluan dan
mendapat izin dari sang Ayah, mereka pun mengadakan perjalanan menuju ke arah
timur. Semakin jauh mereka ke timur, bau harum itu kian menyengat.
Setelah
berbulan-bulan berjalan dengan menyusuri hutan lebat, menyeberangi sungai, dan
Selat Bali, akhirnya mereka tiba di Pulau Bali. Kemudian mereka melanjutkan
perjalanan hingga ke perbatasan Pulau Bali di sebelah timur, yaitu perbatasan
antara Desa Ciluk Karangasem dan Tepi yang terletak di dekat Buleleng. Setiba
di kaki Gunung Batur sebelah selatan, si Putri Bungsu tiba-tiba menghentikan
langkahnya.
“Ada apa,
adinda? Mengapa berhenti?” tanya Pangeran Sulung.
“Adinda
tertarik pada tempat ini, Kanda. Jika diperkenankan, izinkanlah Adinda tinggal
di tempat ini,” pinta si Putri Bungsu.
Permintaan
Putri Bungsu pun disetejui oleh ketiga kakaknya. Sejak itulah, Putri Bungsu
dari Kerajaan Surakarta itu berdiam di tempat tersebut. Namun, ia kemudian
pindah ke lereng Gunung Batur sebelah timur, tempat Pura Batur berdiri.
Selanjutnya, sang Putri diberi gelar Ratu Ayu Mas Maketeg.
Sementara itu,
ketiga kakak Putri Bungsu kembali melanjutkan perjalanan. Saat tiba di suatu
dataran bernama Kedisan yang terletak di sebelah barat daya Danau Batur, mereka
mendengar suara burung yang amat merdu. Saking senangnya, Pangeran Ketiga
berteriak kegirangan. Namun, Pangeran Sulung tidak senang mendengar kelakuan
adiknya itu.
“Hai, Adikku!
Jika kamu senang dengan tempat ini, maka tinggallah kamu di sini,” seru
Pangeran Sulung.
“Tidak, Kanda.
Adik mau ikut kalian,” tolak sang Adik.
Akan tetapi, Pangeran
Sulung sudah terlanjur murka. Maka, ia pun menendang adiknya hingga terjatuh
dalam keadaan posisi duduk bersila dan berubah menjadi patung. Hingga saat ini,
patung batu Bathara (Dewa) itu itu masih dapat kita temukan di Kedisan dengan
posisi duduk bersila. Patung Bathara yang merupakan penjelmaan Pangeran Ketiga
Raja Solo itu diberi gelar Ratu Sakti Sang Hyang Jero dan kini sedang
bersemayam (melinggih) di Meru Tumpang Pitu atau bangunan suci dalam
pura yang beratap tujuh tingkat di Pura Dalam Pingit, di Desa Kedisan.
Tinggal dua
orang pangeran yang tersisa dalam perjalanan itu, yaitu Pangeran Sulung dan
Pangeran Kedua. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan menyusuri tepi
Danau Batur sebelah timur. Ketika sampai di sebuah dataran, mereka bertemu dua
gadis cantik. Oleh karena tertarik pada gadis-gadis itu, Pangeran Kedua pun
menyapa mereka. Namun, Pangeran Sulung tidak menyukai tindakan adiknya itu.
“Hai, Adikku!
Jika kamu senang pada gadis itu, tinggallah kamu di sini!” seru Pangeran
Sulung.
“Tidak, Kanda.
Ananda ingin bersama Kanda,” jawab Pangeran Kedua.
Sekal lagi,
Pangeran Sulung sudah terlanjur naik pitam kepada adiknya. Pangeran Sulung
kemudian menyepak adiknya hingga jatuh dalam keadaan tertelungkup. Konon,
Pangeran Kedua itu kemudian menjadi kepala desa dan desa itu dinamakan Desa
Abang Dukuh. Disebut Abang karena tempat itu merupakan bagian dari Desa Abang,
dan dinamakan dukuh karena berasal dari kata telungkup yang dalam
bahasa setempat disebut dengan istilah dukuh.
Pangeran Sulung
melanjutkan perjalanan seorang diri untuk mencari sumber bau harum itu. Ia
kembali menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di sebelah timur. Setiba di
sebuah dataran, ia mendapati seorang dewi yang cantik jelita sedang duduk
sendirian di bawah pohon Taru Menyan. Pangeran Sulung rupanya amat
terpesona pada kecantikan sang Dewi dan berniat untuk melamarnya. Ketika ia
menghampiri dewi itu, bau harum yang berasal dari pohon Taru Menyan itu
semakin menusuk hidungnya.
“Oh, rupanya
pohon inilah sumber bau harum itu,” gumam Pangeran Sulung.
Pangeran Sulung
pun semakin mantap untuk melamar dewi itu. Lamaran itu ia sampaikan kepada
kakak sang Dewi.
“Baiklah.
Engkau boleh menjadi suami adikku, tapi dengan satu syarat,” kata kakak sang
Dewi.
“Apakah syarat
itu?” tanya Pangeran Sulung ingin tahu.
“Engkau harus
menjadi pancerjagat (pasak dunia) atau pemimpin desa, ” kata kakak si
Dewi.
“Baiklah,
syarat itu saya terima,” kata Pangeran Sulung.
Akhirnya, pesta
perkawinan Pangeran Sulung dan sang Dewi dilangsungkan dengan meriah. Setelah
itu, Pangeran Sulung dinobatkan sebagai pemimpin desa yang dikenal dengan nama
Desa Trunyan. Nama desa itu diambil dari nama pohon Taru Menyan. Taru
berarti pohon dan menyan berarti harum.
Kemudian,
setelah menjadi suami sang Dewi, Pangeran Sulung diberi gelar Ratu Sakti
Pancering Jagat, sedangkan istrinya bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar. Ratu
Sakti Pancering Jagat kemudian menjadi dewa tertinggi orang Trunyan, sedangkan
istrinya menjadi Dewi Danau Batur yang hingga kini dipercaya sebagai penguasa
danau tersebut.
Sejak itulah,
Ratu Sakti Pancering Jagat dibantu sang istri memimpin Desa Trunyan dengan arif
dan bijaksana. Lama-kelamaan, desa itu pun berkembang menjadi kerajaan kecil.
Sebagai raja yang arif dan bijaksana, Ratu Sakti Pancering Jagat menginginkan
negeri dan seluruh rakyatnya hidup aman dan tenteram serta terhindar dari
serangan luar. Oleh karena itulah, ia pun memerintahkan seluruh rakyat untuk
menghilangkan bau semerbak itu.
“Wahai, seluruh
rakyatku! Aku perintahkan kalian agar jenazah-jenazah orang Trunyan tidak lagi
dikuburkan, tetapi biarkan saja membusuk di bawah pohon Taru Menyan sehingga
bau harum itu tidak akan lagi mengundang kedatangan orang luar ke negeri ini!”
titah Ratu Sakti Pencering Jagat.
Sejak itulah,
setiap ada penduduk Trunyan yang meninggal, jenazah mereka hanya dibiarkan
membusuk di atas tanah. Karena bau busuk itulah, Desa Trunyan tidak lagi
mengeluarkan bau harum. Demikian pulah sebaliknya, jenazah-jenazah penduduk
Trunyan itu juga tidak mengeluarkan bau busuk. Bau harum dan bau busuk tersebut
telah saling menetralisir.
* * *
0 comments:
Post a Comment